Scroll untuk baca artikel
Example 728x250
OpiniWakatobi

Wakatobi : Konservasi, Kedaulatan dan Panggung Geopolitik Maritim Indonesia

1086
×

Wakatobi : Konservasi, Kedaulatan dan Panggung Geopolitik Maritim Indonesia

Sebarkan artikel ini

Di banyak brosur pariwisata, Wakatobi digambarkan sebagai surga laut: biru jernih, penuh ikan tropis, dan karang warna-warni. Namun di balik visual cantik itu, Wakatobi menyimpan makna politik yang dalam—ia adalah lanskap geopolitik yang diam, tapi penting.

Sebuah ruang laut yang menjembatani antara konservasi dan kedaulatan negara, antara diplomasi dan realitas ekologi.

Letaknya di Sulawesi Tenggara, di ujung tenggara perairan Indonesia, tak sekadar terpencil.

Wakatobi adalah taman nasional, kawasan strategis pariwisata nasional, dan bagian dari jalur vital Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III) jalur pelayaran global yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Hindia.

Ribuan kapal asing lewat tiap tahun, dan Wakatobi berdiri sebagai salah satu titik krusial pengawasan, kendati jarang disebut dalam narasi besar pertahanan nasional.

Tak hanya strategis secara militer dan logistik, Wakatobi juga penting secara ekologis. Kawasan ini tercatat memiliki lebih dari 1.000 spesies ikan dan 750 jenis karang, menjadikannya salah satu pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Ia adalah bagian dari Segitiga Karang Dunia, dan sejak 2012 ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer Bumi.

Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana negara hadir di sana?

Pembangunan infrastruktur pariwisata berkembang, branding sebagai destinasi “berkelas dunia” terus digalakkan. Tapi dalam geopolitik, citra tidak cukup.

Keberadaan Wakatobi di ALKI III seharusnya mendorong negara memperkuat pengawasan laut, bukan hanya dalam kerangka pertahanan militer, tapi juga untuk memastikan laut tetap menjadi milik rakyat, bukan sekadar komoditas bagi investor atau lalu lintas kapal asing yang tak terpantau.

Isu geopolitik Wakatobi juga menyentuh soal distribusi kuasa. Ketika pusat kekuasaan maritim tetap berpusat di Jakarta dan kawasan barat Indonesia, wilayah-wilayah seperti Wakatobi sering kali hanya jadi objek, bukan subjek kebijakan.

Padahal, dalam visi Indonesia sebagai “poros maritim dunia,” daerah-daerah seperti inilah yang seharusnya menjadi poros utama—bukan sekadar latar belakang foto promosi.

Lebih jauh, kita patut mempertanyakan: apakah narasi konservasi dan pariwisata berkelanjutan di Wakatobi benar-benar menyentuh komunitas lokal? Ataukah justru membatasi akses mereka terhadap laut, sumber kehidupan yang diwariskan turun-temurun?

Geopolitik Wakatobi bukan semata urusan kapal dan karang. Ia adalah tentang siapa yang berkuasa atas laut, siapa yang menikmati hasilnya, dan siapa yang menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan.

Dalam konteks ini, Wakatobi menjadi cermin: apakah Indonesia sungguh negara kepulauan yang merdeka di lautnya sendiri, atau sekadar penjaga perbatasan bagi lalu lintas global?

Oleh : Muhammad Syawal/Kepala Kampung CPW

Example 300250
Example 120x600