Ketika dunia bersiap menuju Conference of the Parties (COP 30) di Belém, Brazil, bulan November 2025 nanti, perbincangan tentang keadilan iklim dan solusi berbasis alam kembali menjadi sorotan. Namun, satu pertanyaan mendasar masih harus dijawab: sudahkah laut benar-benar diposisikan sebagai bagian dari solusi iklim global?
Bagi kami yang hidup di pesisir, jawabannya belum. Padahal, tempat seperti Wakatobi bukan hanya kaya keanekaragaman hayati, tetapi juga menyimpan kekuatan besar yang selama ini nyaris terabaikan: karbon biru.
Wakatobi: Lebih dari Sekadar Surga Laut
Wakatobi, kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara, telah lama dikenal sebagai surga wisata bahari dan kawasan inti dalam segitiga karang dunia. Namun di luar pesona itu, Wakatobi memiliki hamparan mangrove dan padang lamun yang menyimpan karbon dalam jumlah besar.
Karbon biru, istilah untuk karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir, seperti mangrove, lamun, dan rawa pasang surut, menjadi kekuatan alamiah dalam meredam laju krisis iklim. Dan Wakatobi memilikinya.
Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Belum ada pemetaan karbon biru yang komprehensif. Belum ada sistem insentif yang memastikan masyarakat pesisir ikut menjaganya. Dan belum ada panggung yang cukup besar agar suara dari laut ini benar-benar terdengar.
Mengapa COP 30 Relevan?
COP 30 di Belém akan menjadi pertemuan penting karena untuk pertama kalinya konferensi perubahan iklim dunia akan berlangsung di Amazon—jantung paru-paru hijau dunia. Tapi di balik itu, laut tetap harus mendapat tempat yang setara. Sebab, tanpa perlindungan laut, target iklim global hanyalah ilusi.
Wakatobi dan daerah kepulauan lain di Indonesia harus bersuara. Tidak hanya mengingatkan dunia bahwa laut menyimpan karbon, tetapi juga bahwa masyarakat pesisir—dari nelayan, perempuan pembudi daya, hingga anak-anak sekolah pesisir—adalah penjaga karbon biru itu sendiri.
Laut Sebagai Aset, Bukan Korban
Kita tidak bisa terus membiarkan laut menjadi halaman belakang dari agenda iklim. Sudah waktunya laut diperlakukan sebagai aset strategis dalam NDC (komitmen nasional pengurangan emisi), bukan sekadar lokasi wisata atau tempat riset.
COP 30 harus menjadi panggung bagi karbon biru Wakatobi, agar dunia melihat bahwa solusi iklim tidak selalu datang dari teknologi tinggi, tetapi bisa tumbuh dari akar bakau dan lamun yang tenang di bawah permukaan laut.
Penutup: Diplomasi Iklim yang Dimulai dari Desa Pesisir
Saat para pemimpin dunia berkumpul di Brasil, kita di Wakatobi juga harus bersiap. Suara kita tidak harus selalu hadir di meja perundingan, tapi bisa menggema melalui data, aksi, dan narasi yang kuat.
Karena jika kita mampu menjaga karbon biru di Wakatobi, kita tidak hanya menjaga laut, tapi juga memberikan napas baru bagi dunia.
“Laut adalah masa depan. Dan masa depan itu dimulai dari pesisir seperti Wakatobi”
Oleh: Palakampung
Pecinta Lingkungan Pesisir dan Laut