Oleh : Dr. La Ode Mahmud, M.Si
Opini, Kilasbailk.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2 September 2025 menegaskan bahwa tahun depan tidak akan ada pajak baru. Namun, di saat yang sama ia menaikkan target penerimaan pajak hingga 13 persen, menjadi Rp 2.357 triliun. Kata-kata ini terdengar manis: “tidak ada pajak baru”. Tapi faktanya, beban rakyat justru semakin berat. Target yang naik berarti intensifikasi pungutan, perburuan kepatuhan, dan setoran yang makin mencekik.
Ironinya jelas. Pajak memang tidak bertambah jenisnya, tetapi rakyat tetap diperas. Pemerintah menyebutnya gotong royong, seakan beban itu adil. Padahal yang gotong hanyalah rakyat kecil, sementara elit dan korporasi besar justru menikmati fasilitas tax holiday, insentif, dan konsesi.
Sejak lama, pajak dijadikan tulang punggung APBN. Lebih dari 70 persen pendapatan negara bertumpu pada pungutan ini. Namun, defisit tetap menganga, utang terus membengkak. Per Juli 2025, utang Indonesia sudah mencapai Rp 8.421 triliun, dengan bunga tahunan sekitar Rp 400 triliun setara anggaran pendidikan dan kesehatan digabung (Kemenkeu, 2025).
Padahal negeri ini kaya raya. Produksi batubara 2024 mencapai 836 juta ton dengan nilai ekspor sekitar USD 30,49 miliar atau Rp 450 triliun (APBI/Reuters, 29 Juli 2025). Nikel menyumbang devisa ekspor USD 33 miliar atau Rp 530 triliun pada 2023 (Kemenperin, 2024). Freeport menghasilkan emas ± 1,8 juta ons per tahun setara Rp 55 triliun, meski negara hanya mendapat royalti sekitar 4–5% (Kementerian ESDM, 2023). Migas masih memberi potensi Rp 300–400 triliun per tahun, dengan cadangan gas 62 TCF (SKK Migas, 2024).
Dengan semua itu, mengapa rakyat tetap dipalak pajak? Karena hasil bumi ini lebih banyak dinikmati oleh oligarki dan asing, bukan dikelola untuk rakyat. Negara gagah mengejar UMKM dengan pajak final 0,5 persen, tapi begitu lemah di hadapan konglomerat tambang yang meraup ratusan triliun.
Demokrasi-sekuler adalah akar masalahnya. Sistem ini menjadikan pajak dan utang sebagai solusi permanen. Setiap tahun target dinaikkan, defisit ditutup dengan surat utang baru, bunga dibayar dengan utang lagi. Rakyat kecil selalu jadi korban karena paling mudah dijangkau.
Indonesia kaya raya, tapi tetap hidup dari memalak rakyat dan menggadaikan kedaulatan pada asing. Inilah lingkaran setan demokrasi: pajak – utang – defisit – pajak lagi. Apakah kita akan terus bertahan dalam siklus ini?
Islam menawarkan paradigma berbeda. Dalam sistem Islam, negara tidak bergantung pada pajak dan utang. Ada empat pilar keuangan utama: kepemilikan umum, kepemilikan negara, kepemilikan individu, dan zakat.
Dari kepemilikan umum (SDA) saja, potensi minimal Rp 2.000 triliun per tahun: batubara Rp 450–1.200 triliun, nikel Rp 530 triliun, emas Rp 55 triliun, migas Rp 300–400 triliun. Semua itu adalah milik rakyat, negara hanya sebagai pengelola.
Dari kepemilikan negara, potensi tambahan Rp 200–250 triliun per tahun melalui fai’, kharaj, jizyah, usyur, hingga harta rikaz dan ghanimah.
Dari kepemilikan individu, Islam memberikan ruang bagi setiap orang untuk menguasai harta secara halal melalui perdagangan, pertanian, jasa, atau industri tanpa dipajaki rutin. Kekayaan individu terlindungi syariah, berbeda dengan demokrasi yang terus memalak lewat PPh, PPN, hingga pajak daerah.
Dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF), potensi mencapai Rp 500–600 triliun per tahun (BAZNAS & BWI, 2022). Dana ini bisa langsung diarahkan untuk pengentasan kemiskinan, tanpa membebani rakyat miskin.
Sedangkan pajak (dharibah) hanya ada dalam kondisi darurat, dan hanya dibebankan kepada muslim kaya. Tidak rutin, tidak permanen, dan jelas bukan jalan keluar utama seperti hari ini.
Jika semua dikelola dengan syariah, APBN bisa ditutup tanpa pajak rutin dan tanpa utang. Negara berdiri tegak dengan kekayaan yang Allah karuniakan, bukan dengan memalak rakyat atau meminjam pada asing.
Maka jawabannya jelas, membangun Indonesia tanpa pajak dan utang bukan utopia. Ia mungkin, bahkan realistis, jika kita berani meninggalkan sistem rusak demokrasi-sekuler.
Demokrasi hanya melahirkan lingkaran setan pajak dan utang. Islam justru memberi jalan keluar dimana negara berdaulat atas SDA, adil dalam distribusi, mandiri tanpa utang, dan sejahtera tanpa pajak mencekik.
Pertanyaannya, sampai kapan kita rela jadi bangsa yang hidup dari hutang dan pajak? Apakah tidak malu negeri kaya raya ini menindas rakyat kecil demi menutup APBN, sementara kekayaan bumi kita jatuh ke tangan asing dan segelintir oligarki?
Kini saatnya kita butuh keberanian. Berani meninggalkan sistem yang gagal, berani kembali pada syariah yang kaffah. Hanya dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, negeri ini akan terbebas dari lingkaran pajak dan utang, lalu berdiri sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat