Scroll untuk baca artikel
Example 728x250
Opini

Buton Dalam Ketimpangan Fiskal : Antara Kepatuhan Dan Ambisi Kekuasaan

1258
×

Buton Dalam Ketimpangan Fiskal : Antara Kepatuhan Dan Ambisi Kekuasaan

Sebarkan artikel ini

Oleh: L.M Almufakhir Idris
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Manajemen – Universitas Halu Oleo

Sebagai daerah yang sedang bertumbuh, Kabupaten Buton dihadapkan pada tantangan besar dalam membiayai pembangunan yang merata dan berkeadilan. Penyusunan kerangka pendanaan daerah melalui RPJMD 2025–2030 seharusnya menjadi jawaban atas kebutuhan tersebut. Namun, berdasarkan pengamatan terhadap rancangan awal dokumen perencanaan yang beredar, saya menilai terdapat sejumlah ketidaksesuaian mendasar yang patut menjadi perhatian publik

Mandatori Spending yang Terabaikan

Pertama, berkaitan dengan mandatory spending, khususnya ketentuan 40% Dana Alokasi Umum (DAU) wajib dialokasikan untuk infrastruktur pelayanan dasar, sebagaimana tertuang dalam Pasal 142 UU No. 1 Tahun 2022 tentang HKPD.

Pada proyeksi kerangka pendanaan daerah kabupaten buton tahun 2025-2029

Namun, alokasi belanja modal dalam kerangka pendanaan Kabupaten Buton justru terlihat masih berada di bawah ambang batas tersebut. Padahal, kondisi geografis Buton yang terdiri atas wilayah kepulauan sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur dasar seperti akses jalan antarwilayah, dermaga rakyat, jaringan air bersih, dan fasilitas pendidikan serta kesehatan.

DiBandingkan dengan total belanja daerah pada periode yang sama (±Rp860–Rp911 miliar), porsi belanja modal hanya sekitar 16%–18%, jauh dari batas minimal 40% yang diwajibkan. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap regulasi fiskal nasional, dan berpotensi menghambat pelayanan dasar di wilayah-wilayah terpencil dan pesisir Kabupaten Buton.

Kegagalan memenuhi amanat belanja 40% untuk infrastruktur bukan hanya bentuk kelalaian administratif, tetapi berpotensi memperburuk kesenjangan layanan publik di wilayah pedesaan dan pesisir. Bila ini dibiarkan, maka agenda pemerataan pembangunan hanya akan menjadi slogan.

Kebijakan Fiskal 2,5% untuk Pemberdayaan Ekonomi Tidak Tercermin

Rekomendasi nasional dan praktik baik daerah menyarankan alokasi minimal 2,5% dari total belanja daerah untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat seperti UMKM, koperasi, dan ekonomi desa. Namun, dari tabel diatas tidak terlihat pos khusus atau signifikan untuk program-program pemberdayaan masyarakat.

Bahkan alokasi untuk belanja transfer ke desa (bagian dari Transfer Bantuan Keuangan ke Desa) hanya sebesar:
• Rp108,670 miliar pada 2023
• Rp111,916 miliar pada 2025
• Rp117,718 miliar pada 2026
• dan naik perlahan hingga Rp120,852 miliar di 2030.

Namun angka ini mencakup seluruh bentuk transfer bantuan keuangan, bukan secara eksklusif untuk pemberdayaan ekonomi. Jika ditelusuri lebih dalam, bisa jadi alokasi untuk sektor UMKM atau pemberdayaan hanya setipis formalitas. Ini tidak sesuai dengan semangat pembangunan berbasis potensi lokal.

Dampak Ketika Tidak Memenuhi Mandatory Spending 40% untuk Infrastruktur Dasar

  1. Melemahnya Akses Layanan Dasar
    • Akses jalan antarwilayah, dermaga rakyat, jaringan air bersih, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan akan tertinggal.
    • Daerah pesisir dan terpencil makin terisolasi, sehingga distribusi logistik, layanan medis, dan pendidikan menjadi tidak merata.
  2. Meningkatnya Ketimpangan Antarwilayah
    • Ketimpangan antara wilayah pusat dan desa/pesisir akan melebar karena pembangunan terfokus di kawasan yang sudah terlayani.
    • Ini bertentangan langsung dengan prinsip keadilan spasial dalam pembangunan.
  3. Penurunan Kualitas Hidup Masyarakat
    • Tanpa infrastruktur dasar, masyarakat kesulitan mengakses peluang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, yang pada akhirnya menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
  4. Risiko Sanksi Administratif dan Pengawasan Pusat
    • Pemerintah daerah berisiko mendapat teguran atau evaluasi negatif dari pemerintah pusat, khususnya Kemenkeu dan Kemendagri.
    • Bisa berpengaruh pada pengurangan insentif fiskal atau penundaan transfer pusat.

Dampak Ketika Tidak Mengalokasikan 2,5% untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

  1. Lambatnya Pertumbuhan Ekonomi Lokal
    • Tanpa dukungan fiskal yang memadai, UMKM, koperasi, dan pelaku ekonomi desa tidak berkembang optimal.
    • Ekonomi daerah stagnan karena hanya bergantung pada sektor formal dan birokrasi.
  2. b. Meningkatnya Pengangguran dan Kemiskinan Struktural
    • Kurangnya program pemberdayaan membuat masyarakat tidak memiliki alternatif pendapatan selain sektor informal yang rentan.
    • Kemiskinan tidak teratasi meski anggaran rutin tetap berjalan.
  3. Ketimpangan Sosial dan Kesenjangan Akses Modal
    • Hanya kelompok tertentu yang mampu mengakses sumber daya ekonomi, sedangkan masyarakat bawah tertinggal.
    • Potensi ekonomi lokal (seperti pertanian, perikanan, kerajinan) tidak diberdayakan secara maksimal.
  4. Citra Pemerintah Daerah Melemah
    • Ketika anggaran tidak berpihak pada rakyat, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah menurun.
    • Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam pembangunan menurun.

Kesimpulan: Efek Domino Ketidakpatuhan Fiskal

Ketidaktaatan terhadap dua regulasi kunci ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi menciptakan efek domino pada stagnasi pembangunan daerah. Ini menciptakan siklus pembangunan tidak merata → ketimpangan sosial → penurunan produktivitas → peningkatan beban fiskal daerah.

Daerah seperti Buton yang memiliki karakter kepulauan dan ketergantungan tinggi pada layanan publik wajib memperlakukan kebijakan fiskal sebagai alat perubahan, bukan sekadar formalitas anggaran. Jika dibiarkan, maka visi otonomi daerah akan kehilangan maknanya.

Example 300250
Example 120x600